Kisah Cinta di Ujung Desa

Cerita ini sebelumnya sudah ku postkan di blog yang di Wordpress. Ingin menyertakan kisah ini di blog ku ini juga.
.........................................................................

Kisah Cinta di Ujung Desa
Aku menyebutnya kisah cinta, enatah apa pendapat kalian tentang kisah ini. Setuju untuk menggolongkannya dalam kisah cinta atau sebuah kisah tanpa kategori.
Waktu itu aku sedang ngobrol2 dengan seorang ibu2, biasanya orang yang lebih tua dari ibu kita sering dipanggil " dhe" atau "budhe", tapi populer cukup dengan panggilan "dhe".
Ia bercerita banyak tentang anaknya yang sudah besar dan pintar, dan belakangan ku tahu anaknya itu anak adopsi. Dan juga bercerita tentang suaminya, yang kadang sakit. Ia juga bercerita tentang saudaranya yang meninggal karena bunuh diri. Dan inilah sedikit kutipan percakapanku dengannya,
"Mbak," panggilnya sambil bercerita," aneh2 ae ya anak sekarang,.... (Ia bercerita tentang saudarany), wes terus aku ngomong neng pakdhe (suaminya), wes lah pak engko lek mati ojo kareno macem2, mati kereno loro ae yo pak, engko lek mati sampean disik yo pak, lek aku dhisik aku kepikiran sopo engko seng ngrumat sampean[terjemahan: sudahlah pak, nanti kalau meninggal jangan karena akibat yang macam2, meninggal karena sakit saja pak, nanti biar bapak yang mati dulu, nanti kalau aku dulu, aku kepikiran siapa yang merawat bapak nanti,"
Wahhh, sampai segitunya, batinku. Tapi, ini adalah sebuah kisah nyata, sebuah kisah di hari tua.tentang kekhawatiran2 di hari tua, seorang wanita yang setia merawat suaminya yang telah lanjut usia. Aku agak syok ketika dia menyuruh mati duluan, dengan alasan takut tidak ada yang merawat, dan misalnya suaminya meninggal duluan siapakah yang akan merawatnya??? Apa ini salah satu bentuk cinta, dan pengertian yang berlebihan, aku masih belum faham, masih terlalu awam untuk menilai, dan berkomentar.
Cinta seperti apa yang paling mengena di hatimu, kisah romeo dan julietkah, atau kisah nenek kakek kita dengan romansanya menghabiskan hari tua bersama.
Ingin rasanya menangis, mengingat bagaimana dulu mbahnang(panggilan untuk kakek) dan mbok'e (panggilan untuk nenek) masih ada. Aku masih ingat meski waktu itu masih kecil, setiap hari kamis mbahnang selalu mengajak mbok'e ke kemisan (pasar yang tumpah ruah di hari kamis) dengan sepeda unto kesayangannya. Juga ketika kemudian mbok'e meninggalkan mbahnang terlebih dahulu (bahkan aku tidak sanggup menuliskannya untuk saat ini, tentang bagaimana mbahnang amat sangat kehilangan, dan terus merindu mbok'e, sampai kemudian beberapa tahun kemudian +- 4,5 tahun kemudian menyusulnya).
Khususon Al Fatihah untuk mbok'e dan mbahnang...


An_neke









Comments